Google
 

Thursday, April 5, 2007

Harta Karun di Perairan Jabar Selatan



Menggali ”Harta Karun” di Perairan Jabar Selatan
Oleh Soni Darmawan & Rinny Cempaka

Saat ini pemerintah Indonesia sedang meningkatkan peranan sumber daya pesisir dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan bagi peningkatan Gross National Product (GNP). Dengan demikian, eksploitasi sumber daya pesisir dan kelautan yang diusahakan secara lestari dan berkelanjutan merupakan target pembangunan, yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian seluruh rakyat terutama masyarakat wilayah pesisir.

Provinsi Jawa Barat memiliki wilayah pesisir cukup luas. Garis pantainya mencapai 193.565 km, membentang melalui lima kabupaten yaitu Kab. Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Garut dan Kab. Ciamis. Sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, daerah di pesisir pantai mempunyai hak pengelolaan sejauh 12 mil.

Meskipun wilayah perairan yang sangat luas, sumber daya yang terkandung di dalamnya belum termanfaatkan secara optimal. Sedikit banyak ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kelautan dan perikanan telah dikuasai para pakar, namun kemampuan tersebut masih harus terus ditingkatkan dan aplikasinya diarahkan untuk membantu berbagai masalah kelautan dan perikanan yang dihadapi masyarakat luas dan para pelaku industri kelautan perikanan.

Menurut data statistik perikanan, nilai produksi perikanan tangkap di tahun 2003 mencapai Rp 93,60 miliar. Dari nilai produksi tersebut baru dimanfaatkan 40% dari potensi yang ada. Hal itu menunjukkan perairan Jawa Barat selatan masih memiliki potensi yang sangat besar dan under exploited atau harta karun belum tergali secara optimal terutama di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Besarnya potensi ikan di perairan Jawa Barat selatan mengingat daerah tersebut merupakan daerah upwelling, sehingga cukup subur dan merupakan daerah fishing ground bagi ikan tuna yang paling penting di dunia. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana menggali potensi tersebut?

Peranan teknologi satelit

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut Indonesia adalah sulitnya menentukan daerah yang memiliki probabilitas tinggi sebagai lokasi penangkapan ikan (fishing ground).

Pada umumnya, selama ini sebagian nelayan di perairan Jawa Barat masih menggunakan pengalaman empiris dan pengamatan terhadap ”tanda-tanda” alam secara konvensional, yaitu dengan mengandalkan kemampuan pancaindra.

Ketidaksediaan informasi stok sumber daya ikan laut mengakibatkan effort (upaya) yang besar dan pemahaman terhadap pola migrasi ikan juga mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan yang berlebih (over fishing) di suatu daerah.

Apabila hal ini dibiarkan dalam jangka panjang kelestarian sumber daya ikan akan terganggu maka dari itu perlu adanya teknologi agar kegiatan penangkapan ikan dapat efisien dan efektif. Salah satu teknologi yang digunakan adalah memanfaatkan data citra satelit Modis (moderate resolution imaging spectroradiometer) untuk menentukan daerah fishing ground.

Modis merupakan salah satu sensor yang dimiliki EOS (Earth Observing System) dan dibawa oleh dua wahana yaitu Terra yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan Aqua pada tanggal 4 Mei 2002. Sensor Modis merupakan turunan dari sensor Avhrr (Advanced Very High Resolution Radiometer), SeaWIFS (Sea-Viewing Wide Field of view sensor) dan Hirs (High Resoution Imaging Spectrometer) yang dimiliki EOS yang sebelumnya telah mengorbit.

Kelebihan sensor Modis dibandingkan dengan sensor global lainnya adalah dalam hal resolusi spasial 250 m, 500 m dan 1 km. Adapun kelebihan lainnya berupa kalibrasi radiometrik, spasial dan spektral dilakukan waktu mengorbit, peningkatan akurasi/presisi radiometrik, peningkatan akurasi posisi geografis dan terdiri dari 36 band, sehingga dapat digunakan untuk mengukur parameter dari permukaan laut hingga ke atmosfer seperti mengukur suhu permukaan air laut, konsentrasi klorofil, kandungan uap air dan lain-lain.

Penentuan lokasi potensi ikan dilakukan berdasarkan pada parameter suhu air laut (sea surface temperature) dan klorofil-a yang dihasilkan oleh band pada citra Modis. Hal ini mengacu pada suhu yang umum digunakan sebagai indikator untuk menentukan perubahan ekologi.

Selanjutnya suhu inilah yang merupakan faktor penting untuk penentuan dan penilaian suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground) di samping faktor lain. Kontur suhu yang memperlihatkan gradien suhu yang rapat dibandingkan sekitarnya dengan kisaran suhu 0,5�C dalam radius 3 km dan memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi diduga sebagai daerah fishing ground.

Dalam hal menentukan peta fishing ground bukan nelayan yang mengolah, namun diperlukan based station (stasiun utama) pengolah citra satelit yang memberikan informasi fishing ground kepada nelayan di pangkalan pendaratan ikan (PPI) tiap kabupaten.

Informasi harian daerah fishing ground dapat diterima nelayan yang akan melaut. Berbekal informasi fishing ground, tidak ada lagi istilah bagi nelayan untuk mencari ikan. Nelayan melaut untuk menangkap ikan.

Peta fishing ground memberikan informasi daerah potensi ikan. Daerah potensi ikan ditentukan dalam posisi koordinat. Maka dari itu diperlukan alat navigasi berupa GPS untuk membantu navigasi pelayaran sekaligus navigasi untuk menemukan daerah fishing ground hasil analisis citra satelit Modis.

Dengan kata lain adanya data satelit inderaja dan satelit navigasi dapat mengatasi masalah nelayan dalam hal menentukan lokasi tangkapan ikan, dapat membantu produksi perikanan dan tidak akan ada lagi nelayan yang tersesat di lautan.

Instrumen GPS berkembang sangat pesat dengan semakin mudah pemakaian dan murah harganya. Namun instrumennya perlu disesuaikan dengan alat tangkap berupa motor tempel yang mayoritas dipergunakan masyarakat nelayan Jawa Barat selatan. Untuk kapal berukuran di atas 30 grosston (GT) atau kapal besar dapat pula dilengkapi dengan Vessel Monitoring System (VMS) berupa penggunaan data satelit untuk penentuan posisi (positioning) dan komunikasi.

Memang dirasa sangat berat bagi nelayan Jawa Barat selatan dengan karakteristik perairan berombak besar, batrimetri yang dalam dan gelombang yang dapat mencapai 3 m hanya bermodalkan motor tempel untuk mencari ikan.

Disadari untuk meningkatkan produktivitas perikanan tangkap diperlukan armada tangkap yang besar dan pelabuhan perikanan dengan sarana dan prasarana yang lengkap, namun hal tersebut memerlukan kajian dan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, pemanfaatan sarana dan prasarana yang ada, dengan pemberdayaan masyarakat, manajemen yang baik dan sedikit sentuhan teknologi satelit akan sangat membantu menggali ”harta karun” berupa perikanan tangkap di perairan Jawa Barat selatan.***


Penulis, staf Pusat Penginderaan Jauh - ITB. Kelompok Kepakaran Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis (ReSGIS) - Departemen Teknik Geodesi - ITB.

No comments:

Shared Item