Google
 
Showing posts with label Iptek. Show all posts
Showing posts with label Iptek. Show all posts

Thursday, April 5, 2007

Identifikasi Stock Ikan



Perlukah Identifikasi Stok Ikan?

Augy Syahailatua
Puslit Oseanografi LIPI

Kompas Cyber Media
Rabu, 28 April 2004


STOK ikan umumnya didefinisikan sebagai populasi ikan di perairan tertentu. Namun, orang sering kali memahami istilah stok dan populasi ikan sebagai suatu hal yang sama saja sehingga penggunaan kedua istilah ini menjadi sering rancu.

SEBENARNYA istilah stok lebih mengarah pada kelimpahan dan pengelolaan sumber daya tersebut, sedangkan populasi lebih terfokus pada aspek biologinya. Para ahli perikanan membedakan stok dan populasi ikan lebih tegas lagi. Stok memiliki pola migrasi dan lokasi pemijahan tertentu, sedangkan populasi ikan adalah kelompok suatu jenis ikan tertentu yang menempati daerah tertentu pada waktu tertentu.

Sampai saat ini ikan di dunia diperkirakan ada 28.400 jenis, sedangkan yang ditemukan di perairan Indonesia ada lebih dari 25.000 jenis (FishBase 2000). Walaupun demikian, jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai ikan pangan jumlahnya terbatas, hanya berkisar 1-5 persen, ikan hias kurang dari 1 persen, dan selebihnya diperkirakan berperan dalam sistem rantai makan di ekosistem perairan.

Meskipun jumlah jenis ikan pangan persentasenya kecil, jumlah jenisnya di perairan Indonesia masih jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan di perairan belahan bumi utara. Kondisi ini merupakan kendala sekaligus tantangan. Kendalanya adalah tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam mengkaji stok perikanan, khususnya ikan laut, yang disebabkan begitu banyak jenis ikan yang berada di suatu perairan tertentu, dengan tingkat dominansi yang rendah dari jenis tertentu.

Selanjutnya, kendala ini juga menjadi lebih kompleks karena terjadinya migrasi ikan yang mengikuti perubahan musim dan pola arus. Selain itu, ada tantangan berupa keharusan untuk dapat mengungkapkan potensi sumber daya ini secara baik dan benar untuk mendukung usaha pengelolaannya yang lestari.

Terlepas dari berbagai kendala tersebut, perlu sekali dipikirkan langkah-langkah ke depan yang lebih sistematik untuk mendukung pengkajian stok ikan secara baik dan benar. Sedikitnya ada dua pekerjaan yang sangat diperlukan, yaitu mengetahui komposisi jenis ikan menurut skala ruang dan waktu dengan fokus pada jenis yang bernilai ekonomi. Adapun pekerjaan berikutnya adalah mengidentifikasi apakah populasi ikan-ikan tersebut berasal dari stok yang sama atau tidak.

Manfaat identifikasi stok

Stok ikan di laut dapat berpindah dari satu perairan ke perairan yang lain dengan kemungkinan melewati batas-batas kedaulatan suatu negara. Sekiranya ini terjadi, peranan dari identifikasi stok ikan akan sangat berharga, tidak saja untuk mengetahui karakter dan asal-usul stok tersebut, tetapi informasinya dapat dipergunakan dalam pengaturan operasi penangkapan ikan.

Sebagai contoh, perairan pantai barat Amerika serikat merupakan lokasi penangkapan ikan sardin (Californian sardine). Ikan yang tersebar di sepanjang pantai barat Amerika ini diidentifikasi hanya terdiri dari satu stok dengan lokasi pemijahannya di bagian utara Amerika yang merupakan teritori Kanada. Setelah dewasa, ikan sardin ini bermigrasi ke selatan memasuki wilayah laut Amerika dan akan kembali ke utara lagi untuk memijah. Demikianlah siklus hidup dari stok ikan sardin.

Berdasarkan dengan pemahaman itu, Amerika memberikan kuota kepada Kanada untuk mengoperasikan kapal penangkap sardin di wilayah laut Amerika sebagai kompensasi dalam pengelolaan bersama sumber daya sardin. Ini salah satu contoh dari pemanfaatan hasil identifikasi stok ikan dalam pengelolaan sumber daya ikan.

Metode identifikasi stok

Ada sedikitnya tujuh alternatif metode dalam pengkajian stok ikan di suatu perairan, yaitu parameter populasi, penandaan, fisiologi dan tingkah laku, morfometrik dan meristik, struktur berkapur/kalsium, cytogenetic, serta elektroforesis dan mitokondria DNA. Parameter populasi dapat menggambarkan karakter populasi jenis tertentu.

Pendekatan fisiologi dan tingkah laku dipergunakan terutama untuk menentukan kemampuan adaptasi stok terhadap lingkungannya. Morfometrik, meristik, dan struktur kalsium dipergunakan untuk mempelajari hubungan antarindividu di dalam maupun antarstok. Adapun cytogenetic, elektroforesis, dan mitokondria DNA merupakan metode dengan prinsip biokimia, yang sangat berguna untuk mempelajari sifat-sifat genetika dari suatu stok ikan.

Setiap metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan, dan tentunya akan berpengaruh pada hasil yang dicapai. Sebagai contoh, parameter populasi, morfometrik, dan meristik dapat dikerjakan dengan peralatan yang sederhana, yaitu mikroskop, alat ukur panjang dan timbangan untuk mengukur bobot ikan, di samping buku identifikasi, sehingga biayanya murah tetapi memerlukan banyak sampel, membutuhkan tenaga kerja dan waktu yang banyak.

Teknik dengan prinsip genetika memang akan menghasilkan komposisi genetika dari setiap individu sample ikan, dan tentunya ini akan sangat akurat dalam membedakan stok ikan. Namun, biaya analisisnya masih dianggap mahal. Hal itu disebabkan mahalnya harga bahan kimia dan peralatan yang dipergunakan. Di samping itu, juga diperlukan tenaga-tenaga yang terlatih baik dalam mengerjakan analisis ini.

Di Indonesia

Bagi Indonesia, persoalan identifikasi stok ikan ini bukan merupakan hal yang baru. Pertengahan tahun 1980-an sudah dilakukan pekerjaan penandaan ikan cakalang di Kawasan Timur Indonesia untuk mengetahui pergerakannya dan sekaligus melacak keadaan stok. Kesimpulannya ada stok lokal dan stok migrasi, namun penelitian ini tidak diteruskan untuk mengkaji di mana stok lokal dan migrasi ini memijah dan bagaimana karakter dari masing-masing stok secara lebih detail.

Kajian identifikasi stok ikan layang (Decapterus spp) yang dilakukan oleh Philippe Borsa dan kawan-kawan di kawasan perairan Indo-Malaya perlu diacungkan jempol. Hasil temuan mereka mengindikasikan hanya ada satu stok ikan layang jenis Decapterus russeli dengan sedikit variasi genetika.

Informasi selanjutnya yang diperlukan adalah di mana lokasi pemijahannya dan pola ruaya tetapnya, apakah di luar atau di dalam wilayah kedaulatan Indonesia? Informasi ini diperlukan dalam rangka pemanfaatan sumber daya ikan ini secara rasional dan pengelolaannya yang lebih arif, terutama dengan pihak negara tetangga.

Banyaknya jenis ikan komersial dan luasnya wilayah laut Indonesia menyebabkan identifikasi stok ikan tidak dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Diperlukan suatu program yang lebih khusus untuk pengkajian stok ikan sehingga skala prioritas dapat ditentukan.

Kendala lain yang dihadapi adalah penyediaan fasilitas laboratorium untuk analisis, terutama laboratorium genetika perikanan, dan juga sumber daya manusia yang memadai. Cepat atau lambat, informasi mengenai karakter stok ikan ini akan sangat diperlukan, terutama dalam pengaturan lokasi dan musim penangkapan, penentuan jumlah armada yang beroperasi, dan bahkan sebagai masukan untuk membuat perjanjian dengan negara lain.

Pentingnya Terumbu Karang


Terumbu Karang Rusak, Tangkapan Ikan Turun 50 Persen
Emilius Caesar Alexey
www.kompas.com
14 Juli 2006

Kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bom dan pukat harimau membuat hasil tangkapan ikan karang di perairan Bangka Selatan turun sampai di atas 50 persen. Penurunan itu sangat merugikan nelayan lokal karena saat ini ombak laut sedang tinggi akibat musim angin tenggara sehingga mereka tidak dapat melaut sampai jauh.

"Hasil tangkapan ikan karang sebenarnya menjadi andalan kami jika terhalang ombak setinggi dua meter. Selain lokasi karang yang dekat pantai, harga beberapa jenis ikan karang juga mahal. Sayangnya, hasil tangkapan kami jauh merosot jika dibandiingkan tiga tahun lalu," kata Syarif, nelayan Desa Penutuk, Pulau Lepar, Bangka Selatan.

Menurut Syarif, dalam satu hari pelayaran, hasil tangkapan nelayan di pusat-pusat terumbu karang hanya mencapai sekitar 10 kilogram. Padahal, dulu tangkapan ikan karang dapat mencapai 20 sampai 30 kilogram per hari.

Arifin, nelayan Desa Sadai, mengatakan, penurunan hasil tangkapan ikan itu terjadi sejak bermunculannya kapal-kapal pukat harimau dari Thailand, Riau, dan Jawa. Para nelayan luar Bangka itu juga menggunakan bom dan racun untuk menangkap ikan sehingga merusak terumbu karang.

Beberapa terumbu karang yang rusak adalah gugus karang Sawar Mayong, Bemban, dan Sawar Bulat. Kerusakan itu sangat parah sehingga hanya sedikit ikan yang berkembang biak di gugus karang itu. Padahal, ikan kerapu, seminyak, dan mayong, yang biasa berkembang biak di karang, harganya mahal dan menjadi salah satu andalan pendapatan nelayan.

Harga ikan kerapu berkisar antara Rp 70.000 sampai Rp 300.000 per kilogram. Sedangkan, harga ikan seminyak dan mayong mencapai kisaran Rp 10.000 sampai Rp 17.000 per kilogram.

Patroli polisi, TNI Angkatan Laut, dan nelayan lokal telah berhasil menghentikan aktivitas perusakan terumbu karang dalam enam bulan terakhir. Namun, akibat kerusakan itu masih terasa sampai saat ini.

Menanggapi keluhan para nelayan, Gubernur Bangka Belitung, Hudarni Rani, mengatakan, meskipun banyak terumbu karang yang rusak, jumlah ikan yang ada di perairan Babel masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nelayan. Akan tetapi, peralatan dan kapal yang masih sederhana membuat mereka kesulitan untuk menangkap ikan yang lokasinya agak jauh.

Oleh karena itu, pemerintah akan membantu pengadaan peralatan modern guna mencari ikan bagi nelayan. Sementara itu, terumbu karang yang rusak akan dibiarkan memulihkan diri, dengan kecepatan dua sentimeter setiap 10 tahun. Patroli juga terus diaktifkan agar tidak ada perusakan terumbu karang lainnya.

Mencari Lokasi "Upwelling"


Mencari Lokasi "Upwelling" dengan Bio-Indikator Kopepoda
25 Agustus 2006
www.kompas.com

Berbagai fenomena kelautan di belahan dunia terutama di Samudra Atlantik dan Pasifik telah lama mendapat perhatian para ahli oseanografi dari negara-negara maju. Berbekal kepakaran yang berkualitas dunia, sarana riset yang komplet dan canggih, multi-disiplin, multi-institusi, multinegara, dan dukungan dana yang besar, tabir gelap mengenai fenomena kelautan dan beragam jenis biota penghuninya telah banyak terungkap. Salah satu fenomena kelautan yang tetap aktual untuk dipelajari hingga saat ini adalah proses terjadinya upwelling.

Informasi mengenai upwelling di perairan Indonesia sendiri masih amat sangat terbatas, terutama kaitannya dengan proses recruitment ikan. Untuk mengungkap proses upwelling tersebut baik secara mikro maupun makro dan kaitannya dengan jenis-jenis biota yang berasosiasi dalam proses ini diperlukan kajian yang lebih fokus dan serius.

Berbagai parameter telah digunakan oleh para peneliti oseanografi untuk mendeteksi lokasi upwelling di perairan Indonesia. Parameter yang pertama kali digunakan oleh Wyrtki (1958) dan juga Veen (1960) untuk mendeteksi terjadinya upwelling di Laut Banda dan Selat Makassar adalah dengan menggunakan data suhu dan salinitas air.

Dalam perkembangan selanjutnya (sejak tahun 1969) peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI memperluas parameter yang digunakan, tidak hanya terbatas pada suhu dan salinitas, tetapi juga pengukuran aspek kimia air (kadar fosfat, nitrat, dan silikat), aspek biologi (kadar khlorofil, kelimpahan fito-dan zooplankton), serta kelimpahan jenis-jenis ikan pelagis dengan menggunakan acoustic fish finder.

Bahkan, dalam dekade terakhir telah pula digunakan citra satelit Topex/Poseidon, ERS-1, dan ERS-2 oleh BBPT. Namun, alat ini memiliki keterbatasan dalam memberikan informasi spasial di bawah permukaan laut yang hanya dapat diperoleh melalui observasi langsung. Penelitian mengenai upwelling yang telah dilakukan perlu dikembangkan lebih lanjut dengan memadukan data parameter kimia, plankton maupun biologi perikanan agar diperoleh pemahaman tentang proses yang menyebabkan terjadinya upwelling.

Salah satu parameter biologi yang dapat ditawarkan untuk mengungkap fenomena upwelling di perairan dunia yaitu dengan menggunakan bio-indikator zooplankton kopepoda. Jenis-jenis kopepoda tertentu berasosiasi dengan mekanisme upwelling dan memiliki strategi siklus hidup yang khusus yang disesuaikan dalam kondisi normal maupun ekstrem. Jenis kopepoda upwelling ini terdiri dari autochtbonous (lokal) maupun allochtbonous (pendatang).

Lokasi "Upwelling"

Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh tipe iklim Muson yang terdiri dari musim barat (Desember-Februari), musim peralihan I (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus), dan musim peralihan II (September-November). Pada gilirannya tipe iklim ini akan berpengaruh terhadap kehidupan, kekayaan jenis, kelimpahan, sebaran biota maupun sifat-sifat dan fenomena oseanografi yang terjadi, misalnya proses upwelling.

Setidak-tidaknya dikenal ada tujuh lokasi upwelling di perairan Indonesia. Sebagian besar lokasi upwelling ini terletak di Wallace area, yaitu suatu kawasan perairan yang dibatasi oleh garis Wallace di bagian barat dan garis Lydekker di bagian timur (Gambar 1).

Daerah ini dikenal memiliki keanekaragaman jenis dan kelimpahan biota yang tinggi, beberapa jenis di antaranya bersifat unik dan endemik, yang merupakan sumbangan besar bagi keanekaragaman biota global. Selain Selat Makassar dan Laut Banda, upwelling juga terjadi di Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafura, dan perairan utara kepala burung dan perairan timur Papua. Satu-satunya lokasi upwelling di luar kawasan Wallacea adalah di perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.

Upwelling adalah proses yang terjadi di arus permukaan yang sangat penting bagi produksi biota planktonik ini dapat terjadi pada waktu tertentu (sekurang-kurangnya dalam hitungan minggu). Seperti diketahui arus air tidak hanya bergerak secara mendatar (horizontal), tetapi dalam beberapa sebab dapat pula bergerak secara menegak (vertikal). Fenomena upwelling akan terjadi apabila angin berembus terus-menerus di sepanjang pantai dengan kecepatan 15-25 knot yang menyebabkan massa air pantai yang bersuhu hangat (28Ý-29ÝC) di permukaan bergerak ke arah laut lepas (Ekman transport).

Kekosongan massa air di permukaan ini selanjutnya diisi oleh naiknya massa air yang lebih dingin (25Ý-27ÝC) dari kejelukan antara 50-300 meter dengan kecepatan 1-5 meter per hari yang kaya unsur hara. Tingginya kadar hara, terutama fosfat, nitrat, dan silikat di permukaan dipadukan dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi, akan memacu laju fotosintesa, fitoplankton (plankton nabati).

Selanjutnya fitoplankton ini akan dimakan oleh kopepoda dan zooplankton lainnya yang bersifat plankton feeder yang merupakan pakan utama bagi berbagai jenis ikan pelagis kecil. Semua anggota dari fitoplankton tampaknya digunakan sebagai makanan oleh kelompok kopepoda kecuali cyanobacteria yang pada umumnya tidak disukai, kecuali oleh harpacticoid, Microsetella gracilis yang memakan Trichodesmium yang sungguh dibutuhkan sebagai makanannya. Ketika fitoplankton berlimpah isi perut kopepoda penuh dengan kumpulan sel-sel biota ini sehingga tubuhnya tampak berwarna hijau.

Kopepoda merupakan holoplankton dari kelompok krustasea renik, lebih kecil dari udang dan kepiting, umumnya berukuran 0,5-2 mm. Kopepoda berasal dari bahasa Yunani kope, yang berarti dayung dan podos, yang berarti kaki, yang ditujukan untuk bentuk kaki-kaki renangnya yang pipih melebar. Sebagian besar tubuhnya transparan, beberapa di antaranya berwarna kuning telur, biru, ungu, atau hitam.

Beberapa marga lainnya, misalnya Pleurommama dan Oncaea bersifat luminescence. Mereka dapat ditemukan di berbagai habitat dari perairan tawar sampai ketinggian 5.540 m di pegunungan Himalaya hingga samudra luas dari permukaan hingga lapisan-lapisan bathypelagic dengan kedalaman lebih dari 10.000 m. Kisaran distribusi vertikal ini sekitar ¾ dari kisaran maksimum yang mungkin pada permukaan bumi, dari titik terdalam di Palung Mariana ke puncak Mount Everest (20.372 m).

Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa keanekaragaman jenis kopepoda ini lebih besar dari seluruh jenis biota yang ada di laut digabung menjadi satu.

Beberapa jenis kopepoda biasa digunakan sebagai bio-indikator dalam menentukan lokasi upwelling di perairan dunia. Calanus pacificus dan Calanus marshallae merupakan bio-indikator upwelling di perairan lepas pantai California dan Oregon, Amerika Serikat. Dilaporkan bahwa pada saat upwelling sedang berlangsung kelimpahan anakan (kopepodit V) dari jenis ini di permukaan perairan mencapai 26 juta individu per meter kubik, dan kadar fosfat di permukaan air mencapai 2 µg atom per liter.

Sedangkan Calanus carmatus biasa berasosiasi dengan upwelling di perairan Afrika Utara. Acartia clausi, Acartia longiremis, dan Oithona similis merupakan beberapa jenis kopepoda lainnya yang berasosiasi dengan mekanisme upwelling.

Di perairan Indonesia, dua jenis kopepoda laut dalam yang dikenal sebagai bio-indikator upwelling adalah Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus. Pada saat musim upwelling berlangsung, biasanya berawal pada musim timur (Maret-September) stadia dini (nauplius dan kopepodit) dari kedua jenis kopepoda ini sangat melimpah di lapisan permukaan air. Sebaliknya bentuk dewasanya sangat jarang ditemukan.

Mereka menimbun lemak sebanyak mungkin dari fitoplankton, nauplius maupun detritus yang dimakannya untuk pertumbuhan dan cadangan makanan pada saat downwelling. Menjelang berakhirnya musim upwelling, pada saat stok makanan di permukaan mulai menipis, sebagian besar anakan (kopepodit V) dari kedua jenis kopepoda tersebut akan menyelam ke kedalaman 300-500 meter atau lebih.

Di lapisan kedalaman ini, kopepodit V akan beristirahat (resting state), mengurangi metabolisme dan aktivitasnya tanpa makan selama 5-6 bulan dan tetap bertahan sebagai kopepodit V menunggu sampai musim upwelling berikutnya. Ketika musim upwelling tiba kopepodit V ini berenang kembali ke lapisan dekat permukaan untuk menjadi dewasa, kawin dan bertelur. Konsentrasi paling tinggi dari upwelling species, biomassa zooplankton tertinggi dan temperatur air terendah terjadi di bagian barat dan utara Kepulauan Aru.

Strategi mempertahankan siklus hidup yang hampir mirip ditunjukkan oleh Calanus finmarchicus di perairan Atlantik Utara. C finmarchicus adalah omnivora, memakan fitoplankton, krustasea sangat kecil lainnya, dan juga detritus untuk mendapatkan sejumlah besar nitrogen dan fosfor dari sumber ini pada saat blooming di musim semi.

Bahan makanan yang berasal dari jasad hidup alami yang mengandung banyak lemak ini penting sebagai cadangan untuk menyokong hidupnya pada saat menghadapi musim dingin. Pertumbuhan dan reproduksi dari C finmarchicus terjadi pada lapisan samudra ($> 100 meter). Dalam keadaan normal C finmarchicus mempunyai siklus hidup antara 30-50 hari yang meliputi perkembangan enam stadia larva (nauplius I-VI) dan enam stadia juvenil (kopepodit I-VI).

Akan tetapi, dalam keadaan ekstrem (kritis) mereka mengubah strategis siklus hidupnya secara drastis, terutama dalam menghadapi musim dingin yang panjang (masa paceklik). Stadia akhir pra-dewasa (kopepodit V) C finmarchicus akan menyelam dan tinggal dekat dasar atau pada lapisan kedalaman 300-400 meter, mempertahankan hidupnya tetap sebagai kopepodit V tanpa makan selama 6-8 bulan.

Menjelang musim semi kopepodit V dari C finmarchicus ini akan berenang kembali ke lapisan dekat permukaan untuk menjadi dewasa, kawin dan membentuk suatu generasi baru. Di bagian utara dunia yang lebih ekstrem, di Laut Greenland dan Selat Davis, populasi C finmarchicus dalam satu tahun hanya dapat menghasilkan satu generasi saja. Sebaliknya di perairan lebih ke selatan, misalnya pantai timur Amerika Serikat, setidak-tidaknya dalam setahun jenis ini dapat menghasilkan dua generasi.

Konsep lain yang ditawarkan oleh Fleminger (1985) dalam mengamati strategi siklus hidup Calanus pacificus californensis dalam sistem arus California. Pada awal musim gugur hingga musim dingin sebagian besar stadia pra-dewasa (kopepodit V) C p californensis menyelam ke kedalaman 300-400 meter, mengistirahatkan diri tetap dalam stadia kopepodit V dan berpuasa hingga musim dingin berakhir. Menjelang awal musim semi kopepodit V ini berenang ke permukaan untuk menjadi dewasa, sebagian besar persentasenya adalah betina.

Mereka tinggal dekat lapisan permukaan dan menghabiskan musim semi dan musim panas (masa panen) untuk menimbun lemak, tumbuh dan bereproduksi. Setelah musim panas berakhir, kopepodit V dari generasi berikutnya kembali menyelam untuk beristirahat, mengurangi aktivitas dan metabolisme, dan berpuasa sampai musim semi tiba.

Keuntungan dan kerugian

Lokasi upwelling merupakan daerah yang subur dan ideal bagi ikan-ikan pelagis kecil untuk memperoleh pakan, yang pada gilirannya akan dimangsa oleh ikan-ikan yang berukuran besar. Hubungan yang saling berkesinambungan ini menjadikan lokasi upwelling sebagai area yang sangat ideal untuk menangkap ikan (fishing ground).

Lokasi upwelling di perairan lepas pantai California telah lama dikenal sebagai tempat yang baik untuk penangkapan ikan Sardinopsis (dari famili Clupeidae). Tak berbeda jauh di perairan lepas pantai Peru yang menjadi era penangkapan ikan anchovy (dari famili Engraulidae). Di pantai barat Afrika, Sardinella sp. merupakan jenis ikan yang sangat dominan ditangkap.

Meskipun daerah upwelling diakui sebagai tempat yang ideal untuk penangkapan ikan, namun daerah ini juga menjadi tempat peminjahan ikan yang potensial untuk mendukung proses perekrutan ikan tembang, japuh, lemuru (Clupeidae), serta puri atau teri dari kelompok Engraulidae. Proses upwelling akan sangat berguna bagi perekrutan ikan apabila kecepatan angin tidak melebihi 5-6 meter per detik.

Kecepatan angin yang tinggi akan berdampak negatif bagi proses perekrutan. Hal lain yang sangat penting adalah timing (ketepatan atau ketidak tepatan) dalam ketersediaan pakan alami bagi larva ikan tersebut. Maka penangkapan ikan di daerah upwelling harus dipertimbangkan tentang kelestariannya karena penangkapan yang berlebihan (over fishing) akan merugikan secara ekonomi dan biologi.

Pengayaan hara (nutrient enrichment) akibat upwelling juga dapat memicu terjadinya red tide, akibat terjadinya biakan massal populasi fitoplankton tertentu dengan jumlah puluhan juta sel per liter air.

Biakan massal ini dapat merubah warna perairan menjadi merah kecoklatan, hijau kekuningan atau biru kehijauan. Akumulasi konsentrasi dari sel-sel tersebut terletak dari permukaan hingga lapisan kedalaman 2-5 meter.

Secara normatif red tide dapat terjadi karena adanya sumbangan hara dari daratan yang sangat tinggi, perubahan cuaca (El Nino, La Nina?), hujan yang berlebihan, atau kurangnya zooplankton (kopepoda) herbivora yang mengontrol populasi fitoplankton penyebab red tide.

Sedikitnya dikenal ada 20 jenis plankton yang potensial menimbulkan red tide di perairan Indonesia. Pyrodinium bahamense var compressum dan Alexandrium affine merupakan dua jenis plankton penyebab red tide di Teluk Kao dan Teluk Ambon.

Peristiwa red tide menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya ikan di perairan alami, tambak, serta menghilangnya ikan-ikan dari lokasi penangkapan. Munculnya jenis-jenis plankton red tide akan menimbulkan kematian massal biota laut akibat pengurasan oksigen (anoxious), merusak dan mengganggu sistem pernapasan ikan, dan meracuni lingkungan perairan dan biota laut lainnya.

Sebagai contoh red tide dari Trichodesmium thiebautii (cyanobacteria) di Lampung pada tahun 1991, telah menyebabkan kerugian sekitar Rp 3,5 miliar akibat kematian massal udang windu yang siap panen. Matinya kerang-kerang mutiara di loka budidaya Dobo, Maluku Tenggara, dan kematian ikan sardine di sepanjang Pantai Kuta, Bali, pada tahun 1995, serta kematian massal ikan di perairan Waigeo, Sorong, pada tahun 1996 merupakan beberapa kejadian yang diakibatkan oleh red tide.

Dan, masih banyak lagi kasus-kasus kematian sumber daya ikan akibat red tide di berbagai wilayah perairan Indonesia yang luput dari perhatian.

Di satu sisi, pengayaan nutrien (eutrofikasi) akibat mekanisme upwelling berdampak positif bagi kesuburan suatu perairan dengan terpeliharanya sumber daya perikanan. Di sisi lain, upwelling juga dapat menyebabkan kerugian karena menimbulkan ledakan pertumbuhan (blooming) dari jenis-jenis plankton penyebab red tide.

Pengkajian lebih lanjut mengenai fenomena upwelling dan dampaknya di perairan Indonesia merupakan masalah yang sangat penting, karena masih banyak parameter lainnya yang berhubungan dengan upwelling yang perlu diteliti secara lebih akurat. Pada akhirnya hal ini erat kaitannya dengan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan secara baik dan benar.

Source : www.kompas.com

Shared Item