Google
 

Monday, April 2, 2007

Memancing di Laut Dalam

Wisata Bahari yang Masih Terabaikan
Kompas, Rabu, 10 Desember 2003


PERAIRAN Sulawesi kaya akan potensi. Bukan hanya potensi yang terkandung di dalam laut seperti beraneka ragam ikan, mutiara, rumput laut, dan tambang minyak, tetapi juga potensi wisatanya yang kalau digarap secara benar dan profesional akan mendatangkan devisa yang luar biasa besar.

Contoh kecil saja, pendapatan asli daerah (PAD) Kota Makassar sebanyak Rp 14 miliar berasal dari sektor wisata. Itu berarti pendapatan kedua terbesar setelah pajak bumi dan bangunan (PBB). Dan, kalau berbicara soal wisata di Kota Makassar khususnya, dan umumnya Sulawesi Selatan, tidak lain dari wisata bahari, wisata laut!

Apa yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Makassar untuk memajukan wisata bahari?

"Nothing," kata seorang penggiat wisata bahari setempat. Memang ironis apabila melihat laporan pertanggungjawaban wali kota di bidang wisata, khususnya wisata bahari. Banyak program dicantumkan seperti lomba jolloro, sandeq, namun realisasinya tidak pernah ada.

"Padahal, kalau ada perhatian pemerintah sedikit saja, wisata bahari di Kota Makassar bisa sangat maju mengingat potensi perairannya yang sangat kaya dan beragam. Memajukan wisata bahari bukan hanya menyelenggarakan lomba perahu," ujar dia lagi.

Wisata bahari lain yang sesungguhnya dapat mendatangkan devisa besar ialah menyelam (diving) dan memancing (fishing) di perairan dalam. Dan, Kota Makassar yang memiliki gugusan pulau spermonde yang jumlahnya bisa mencapai ratusan, besar maupun kecil, sangat cocok untuk dieksploitasi potensi wisata baharinya.

Setiap pulau, bisa dijadikan resor sekaligus area menyelam dan memancing. Namun, yang sampai saat ini digarap cukup profesional baru Pulau Kapoposang saja. Di pulau ini terdapat empat cottage milik PT Makassar Tirta Wisata. Hampir 70 persen penikmat wisata bahari di Pulau Kapoposang ini adalah ekspatriat. Dengan 75 dollar AS per hari per orang, wisatawan bisa menyelam, memancing, dan menginap di pulau yang dikepung lautan ini.

Memang terasa ironis, untuk menyewa sebuah kapal pesiar dengan bobot 20 ton dengan ukuran panjang delapan meter-kapal yang layak menyeruak tengah lautan untuk memancing di laut dalam-itu disediakan oleh pengusaha kapal Singapura. Sewanya Rp 3 juta per hari. Lebih ironis lagi, sebuah majalah berbahasa Cina yang terbit di Malaysia edisi Juni 2003, menawarkan jasa kepada peminat dan penggemar olahraga memancing untuk wisata memancing di perairan dalam Sulawesi.

Untuk dapat memancing di Pulau Takabakang dan Pulau Marasende, misalnya, ditawarkan 1.400 ringgit Malaysia per orang per hari. Kedua pulau itu berada di Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Adapun untuk sampai ke Takabonerate, perusahaan wisata bahari Malaysia itu menawarkan harga 2.500 ringgit Malaysia. Luar biasa!

TERTANTANG ingin membuktikan bagaimana hebatnya perairan dalam Sulawesi Selatan, Kompas memenuhi ajakan Federasi Olahraga Mancing Seluruh Indonesia (Formasi) Sulsel. Bersama wartawan Suara Pembaruan, kami berangkat dari dermaga Popsa (Persatuan Olahraga Perahu Motor dan Ski Air) Makassar pada Sabtu (6/12) dini hari pukul 02.00. Tujuannya Pulau Marasende yang berjarak 90 mil laut dari dermaga. Dengan kapal Semangat I (milik pengusaha Singapura yang khusus menyewakan kapal untuk kepentingan menyelam dan memancing), waktu tempuh diperkirakan delapan jam, sebab kecepatan kapal hanya 12 knot per jam.

Di atas kapal ada sejumlah penggiat olahraga atau wisata bahari seperti Ilham Mattalatta yang gila memancing karena dia juga Ketua Formasi Sulsel, Rudi Banse yang walaupun sudah usia senja, tetapi selalu bersemangat kalau bicara soal memancing, Philip Karundeng, pengusaha minuman segar markisa yang suka memancing sekaligus menyelam.

Ada juga Hadi Basalamah yang kalau di air gila menyelam dan di darat gila olahraga berkuda, Mahendra yang senang memancing, Syahrir Mantigi yang juga maniak memancing, Chris orang Singapura pemilik kapal, Herry "Trolling", sang kapten kapal merangkap ahli memancing gaya trolling (memancing selagi kapal melaju), dan sejumlah anak buah kapal, termasuk koki.

Bulan berkuasa penuh saat Semangat I menarik jangkar, menuju perairan dalam Sulawesi. Saat dua jam perjalanan pertama, Herry sudah menyiapkan empat kail yang dipasang di bagian ekor kapal untuk memancing gaya trolling.

Rudi Banse menunggu dengan sabar di belakang kail. Saat kapal melaju, umpan berupa ikan imitasi seukuran 10 sentimeter itu seperti melompat-lompat di atas permukaan air laut. Senar yang dibentangkan bisa mencapai 200 meteran. Namun, akan sangat ketahuan bila ada ikan menyangkut, suara reel (gulungan senar) akan berbunyi "krekek-krekek". Saat itulah stick pancing yang satu set dengan reel dan harga senarnya mencapai Rp 8 juta itu harus diangkat dari pancangnya, sedang kapal harus dikurangi lajunya secara ekstrem. Hasilnya, ikan barracuda sepanjang lebih satu meter.

Philip Karundeng bercerita, olahraga memancing di perairan dalam memang olahraga mahal dan eksklusif. Lebih mahal ketimbang golf. Untuk sewa kapalnya saja, sudah Rp 3 juta per hari. Padahal, untuk sekali memancing saja minimal harus tiga hari. Meski demikian, pangsanya juga lain, yakni orang bule (wisatawan asing) dan orang kaya Indonesia.

"Orang asing itu (Malaysia dan Singapura) memanfaatkan benar potensi bahari yang kita (Indonesia) miliki, sementara kita hanya sekadar hobi. Jangan tanya ada investor kita yang mau bermain di laut untuk urusan menyelam dan memancing. Apalagi pemerintah kota yang hanya mau menerima apa adanya saja potensi wisata bahari ini tanpa mau bersusah-payah mengeksplorasinya," tutur Karundeng seusai menyelam 70 meter di Marasende.

Karundeng, Ilham, dan Hadi menjajaki dasar laut Marasende sambil membawa spear gun, tombak yang meluncur menggunakan pemantik seperti layaknya sebuah pistol. Spear gun yang buatan Amerika itu harganya 1.000 dollar AS, dan Hadi mendapatkan ikan trevally dari hasil bidikannya dengan alat itu.

Menurut Karundeng, mestinya kalau pakai tabung oksigen tidak boleh menggunakan spear gun. Menurut dia, spear gun hanya digunakan saat menyelam dengan menggunakan kacamata selam dan tanpa tabung oksigen. "Itu memang aturan scuba diving," katanya.

Saat singgah di perairan dekat Pulau Marasende, seorang penduduk lokal yang berbahasa dan beretnis Mandar, singgah dengan sampan kecilnya. Ia melengkapi diri dengan tombak tradisional, terbuat dari rotan dengan ujung bermata pisau. Sebagai tali busur dia gunakan ban bekas dengan busur rotan yang melengkung setengah bulan sabit.

Dengan peralatan sederhana itu, ia sanggup menyelam selama puluhan menit dan saat muncul tombaknya sudah menusuk seekor ikan besar. Sesaat ia "menghilang" dengan perahu kecilnya, mencari perairan yang lebih banyak ikannya dengan menggunakan nalurinya.

Mengapa untuk memancing harus pergi jauh-jauh ke Takabonerate di Takalar, Marasende atau Takabakang? Philip Karundeng mengungkapkan, perairan di Selat Makassar sudah sangat rusak akibat aksi pengeboman ikan yang dilakukan nelayan tradisional. Kalau mau panorama asri, harus ke Pulau Kapoposang atau Lajukang.

Di perairan dalam seperti di Marasende dengan kedalaman 168 meter, ikan yang diperoleh dari hasil memancing pun beraneka ragam. Sebut saja ikan trevally (ikan kue), escola, ruby snipper (kakap merah), barracouta, ikan layur, tenggiri dan bahkan tuna gigi anjing (dogtooth tuna).

Di perairan Takabakang dengan kedalaman 150 meter, ikan kakap merah yang sekali tangkap bisa mencapai 30 kilogram itu bisa dengan mudah tersangkut kail. Namun, di sini perjuangan sekaligus hobi bertualang lewat olahraga memancing tersalurkan, sebab untuk menyeret ikan kalap merah itu ke permukaan diperlukan waktu paling cepat 15 menit.

INDONESIA memang negeri yang dikenal karena keterlambatannya dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan, juga dalam mengeksplorasi potensi alam yang kelak menghasilkan devisa. Dua pulau kecil Sipadan dan Ligitan, dalam adu argumen hukum antara Indonesia versus Malaysia di Belanda misalnya, dimenangkan Malaysia gara-gara alasan sepele: Malaysia sudah menggarap kedua pulau itu dengan baik sehingga memenuhi unsur upaya konservasi alam dan lingkungan hidup yang tertata rapi.

Kalau bagi Indonesia, kedua pulau itu barangkali cuma dianggap sebagai tempat "jin buang anak", tetapi oleh Malaysia, dua pulau kecil di moncong utara Pulau Kalimantan ini bisa dipelihara dan ternyata bisa dijual. Ringgit Malaysia pun mengalir dari sektor wisata, dan lagi-lagi kita hanya bisa gigit jari. Contoh sederhana ada di depan mata kita, khususnya Pemerintah Kota Makassar atau Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. (PEPIH NUGRAHA)

No comments:

Shared Item