Google
 

Monday, April 2, 2007

Tour de Taka Bonerate

Konvoi Paus, Terumbu Karang, dan Wisata Bahari

KOMPAS, Jumat, 23 November 2001
Dokumentasi Mapala UWMY

MUNGKIN banyak orang belum tahu kalau di Taman Nasional Taka Bonerate yang terletak di selatan Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, terdapat karang atol terbesar ketiga di dunia setelah Maldiva dan Kwadifein, dan konon merupakan salah satu yang terindah di seluruh belahan Bumi. Taka Bonerate yang berarti "timbunan karang di atas pasir" ini memiliki keanekaragaman biota laut cukup tinggi, terdiri dari terumbu karang, ikan, moluska dan ekinodermata. Ada pula empat jenis penyu yang dilindungi undang-undang, di antaranya yang sering ditemukan ialah penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelis imbricata).

Itulah sebabnya saya tertarik ketika diajak untuk ikut dalam scientific tour yang diadakan Pokja Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) Sulsel ke Taman Nasional seluas 220.000 ha itu. Dua tim diturunkan dalam tur kali ini. Tim pertama ialah 10 penyelam yang dipimpin Ketua CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Coremap Sulsel, Kun Praseno ST, yang melakukan pemasangan reef check di 23 titik penyelaman dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate. Sedangkan tim kedua ialah empat orang evaluator Bank Dunia, Dr Kasim Musa dari LIPI dan surveyor lokal dipimpin langsung oleh Ketua Pokja Coremap Sulsel, Ir Baharuddin Nur Dipl Env, di mana saya termasuk di dalamnya. Tim pertama sudah berangkat sejak tanggal 5 November 2001. Sedangkan tim kami baru menyusul lima hari kemudian.

Setelah berada semalam di Benteng, ibu kota Selayar, tim berkumpul di Pelabuhan Benteng, dan diangkut dengan Kapal Motor Patroli (KMP) Taka Lamungan bertenaga 720 PK menuju kawasan Taka Bonerate. Tiga jam pertama merupakan saat adaptasi karena angin dan arus cukup kuat menghantam kapal, sehingga perut terasa mual dan kepala agak pusing. Setelah lepas dari Tanjung Appatana, laut mendadak tenang, dan langit agak cerah. Hampir seluruh anggota tim, termasuk Peter Fleweling, Tom Walton, Pawan, dan Phillips dari Bank Dunia, menikmati pemandangan dan angin laut di haluan kapal.

Sekitar pukul 17.35, di kejauhan lurus di depan kapal kelihatan beberapa sirip ikan yang mengapung. Beberapa rekan sudah mulai menebak ikan apa gerangan yang sedang mengapung. Saat kapal mulai mendekat, tampaklah bahwa tujuh sirip tersebut adalah ikan paus. Tebak-tebakan berakhir setelah air menyembur dari punggung ikan paus tersebut. Seluruh anggota tim mencurahkan perhatian pada hewan mamalia tersebut.

Belum lagi hilang konvoi paus tersebut dari tatapan, sekitar seratusan meter di depan kapal tampak segerombol ikan lumba-lumba saling berlompatan mendekati kapal. Saya dan Mahfud yang saat itu berada persis di moncong kapal dapat melihat dengan jelas bagaimana tiga ekor lumba-lumba juga sedang berada persis di bawah moncong kapal seakan sedang mengajak balapan dengan KMP Taka Lamungan yang saat itu melaju dengan kecepatan 15 knot. Hampir 10 detik balapan ini berlangsung, dan sayangnya Satriawan, si fotografer, tidak sempat mengabadikan momen yang berkesan tersebut.

Setelah konvoi paus dan lumba-lumba menghilang, beberapa rekan masih asyik terlibat perbincangan tentang kejadian tadi. Peter, Pawan, Tom, dan Phillips yang paling serius memperbincangkan tentang paus. Saya sendiri berharap agar nanti masih bisa berjumpa dengan paus. Sayangnya sampai Tim kembali dari Taka Bonerate, konvoi paus tersebut tak pernah muncul lagi. Menurut beberapa rekan dari Pokja Coremap Sulsel, memang di daerah sekitar Tanjung Appatana, sering muncul paus.

PUKUL 19.20, kapal merapat di dermaga Pulau Tinabo. Setelah makan malam, beberapa rekan sudah nongkrong di samping kapal untuk acara mancing. Beberapa ikan karang tampak mendominasi hasil pancingan. Beberapa ikan berukuran sedang juga tampak hilir-mudik di permukaan air yang terang disoroti lampu kapal. Salah seorang koki kapal dengan santainya menangkap cumi-cumi memakai jaring yang dipasang pada galah bambu dari atas tangga dermaga.

Pagi-pagi sekali, Peter, Tom, dan Phillips melakukan snorkeling di sekitar dermaga. Dengan bantuan sinar matahari yang saat itu cerah terlihat dari atas kapal, betapa indah pemandangan bawah laut di sekitar kapal. Terumbu karang dengan beragam bentuk dan warna menghiasi dasar laut yang bertubir. Sementara ikan-ikan karang terlihat ramai bergerombol di sekitar terumbu karang. Pulau Tinabo dikelilingi pantai berpasir putih yang mempesona, sangat merangsang keinginan untuk berenang berkeliling.

Selesai sarapan pagi di Pos Jagawana, tim dengan menggunakan dua boat berangkat menuju Pulau Rajuni Kecil. Boat pertama milik Jagawana Pulau Tinabo, digunakan oleh Baharuddin, para evaluator Bank Dunia, Camat Taka Bonerate dan fasilitator dari LP3M. Sedangkan boat kedua ialah sebuah perahu tradisional Selayar, jollor atau jarangka bertenaga 15 PK milik Numar, seorang reef-watcher (pengawas zona terumbu karang pulau) di Pulau Rajuni Kecil. Di kawasan Taka Bonerate ini terdapat 21 pulau, di mana hanya delapan pulau yang dihuni, yakni Rajuni Kecil, Rajuni Besar, Latondu, Tarupa, Jinato, Pasitallu Tengah, Pasitallu Timur, dan Tinabo.

Setelah dicanangkannya program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coremap) di Taka Bonerate, masyarakat nelayan di kawasan ini sudah mulai menyadari arti penting terumbu karang, sehingga kegiatan destructive fishing seperti pengeboman dan pembiusan ikan sudah mulai ditinggalkan. Bahkan masyarakat setiap pulau dengan difasilitasi oleh Coremap, sudah memiliki "kebun" terumbu karang (sanctuary) yang dilindungi dan dimanfaatkan untuk budidaya perikanan laut.

Untuk mengawasi kebun milik masyarakat tersebut bahkan perairan sekitar pulau dari kegiatan destructive fishing, diangkatlah seorang pengawas atau reef-watcher. Sayangnya kesadaran masyarakat lokal yang merupakan aset utama pelestarian terumbu karang ini, belum didukung sepenuhnya oleh kesadaran aparat keamanan kawasan gabungan. Masyarakat Rajuni Kecil atau Tarupa misalnya, sering mengeluh karena tindakan aparat yang justru beberapa kali melakukan tindak pelanggaran hukum, seperti pemerasan di tengah laut, atau mem-back-up nelayan dari luar kawasan Taka Bonerate untuk melakukan pengeboman dan pembiusan.

Kurang lebih satu jam kemudian, jollor kami tiba di Pulau Rajuni Kecil. Di sini kami bertemu dengan Kun Praseno dan timnya yang baru selesai melaksanakan misi Reef Health Benefit Monitoring Evaluation, dan akan kembali besok ke Selayar dengan kapal kayu. Kami terlibat dalam perbincangan santai tetapi penasaran dengan hasil "petualangan" tim selam. Dr Kasim Musa bahkan meminta Muchsin untuk memperlihatkan hasil shooting bawah laut yang sudah dilakukan. Kami bergantian menonton film tersebut. Luar biasa memang pemandangan zona-zona terumbu karang Taka Bonerate. Pantas saja kalau dimasukkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata (DTW) dunia!!

Di pulau yang bergaris pantai sepanjang tiga kilometer ini terdapat sanctuary Batu Lala seluas tujuh hektar. Dalam sanctuary masyarakat Rajuni Kecil ini terdapat ikan kerapu, lola, ikan pari, karang hidup, dan cumi-cumi. Sanctuary Batu Lala ini hanya dapat dimasuki pengunjung dengan seizin kelompok konservasi atau reef-watcher untuk kepentingan riset, diving, snorkeling, dan mancing. Sanctuary Batu Lala ini merupakan salah satu zona penyelaman yang terindah di Taka Bonerate. Terumbu karangnya beragam dan memiliki keanekaragaman ikan hias yang sangat memesona para penyelam, bahkan bagi mereka yang hanya menikmatinya dari atas jollor, khususnya pada pagi dan sore hari. Apalagi terumbu karang di sanctuary Batu Lala ini tumbuh di atas hamparan pasir putih pada kedalaman 2,5 hingga tujuh meter.

Sanctuary ini boleh dibilang sebagai basis ikan, terbukti ketika salah seorang rekan berhasil memancing ikan kerapu tikus seberat tiga kg di dalam areal ini. Padahal asal tahu saja, di Makassar harga ikan sejenis ini dalam kondisi hidup bisa mencapai Rp 200.000!

SETELAH makan siang dan monitoring di Rajuni Kecil selesai, tim kami belum bisa melanjutkan perjalanan ke Pulau Latondu, karena jollor kami tersangkut pada karang saat air laut surut. Hampir magrib kami meninggalkan Rajuni Kecil dengan jollor lain, dan tiba di Pulau Latondu yang luasnya hampir sama dengan Pulau Rajuni Kecil, kurang lebih 30 menit kemudian. Sayangnya kami tiba kemalaman, sehingga tidak dapat melihat keindahan sanctuary Pa'baresengi milik masyarakat Latondu. Padahal, sanctuary seluas 1,3 ha ini adalah zona terumbu karang yang sangat bagus. Selain itu terdapat tubir vertikal dan goa bawah laut yang sangat menawan. Apalagi kami hanya setengah jam berada di pulau berpenduduk 681 jiwa itu. Sayang sekali!

Setelah tugas kami rampung, tepat pukul 19.05 jollor mengantar kami menuju Pulau Tarupa. Penduduk Pulau Tarupa berjumlah 708 jiwa dengan luas pulau 49,5 ha. Beberapa nelayan lokal mengatakan bahwa sanctuary di Tarupa juga tergolong sangat indah, sebagaimana halnya yang terdapat di Rajuni Kecil, Latondu, Tinabo, Jinato, dan Pasitallu Tengah. Ini berarti seluruh sanctuary yang terdapat pada pulau-pulau berpenghuni di Taka Bonerate ini, layak untuk menjadi obyek wisata bahari.

Sama halnya dengan di Latondu, kami hanya sebentar di Tarupa, kemudian pukul 21.15 jollor membawa kami kembali ke base-camp kami, KMP Taka Lamungan di dermaga Pulau Tinabo. Hampir satu jam baru kami tiba di Tinabo.

Keesokan harinya pukul 08.45 KMP Taka Lamungan lepas tali menuju Pulau Pasitallu Tengah. Cuaca agak mendung, namun laut terlihat tenang. Beberapa perahu nelayan tampak hilir mudik. Seekor ikan lendro bercucut panjang tampak berakrobat berenang kencang di atas ekornya, hingga kemudian hilang ditelan air. Camar-camar laut terbang menukik ke dalam air mencari ikan lalu kembali terbang ke angkasa. Sekitar 2,5 jam kemudian kami tiba di Pulau Pasitallu Tengah.

Di sanctuary Kassanangan ini, kata beberapa penduduk, banyak terdapat ikan hias, kerapu, ikan sunu, cumi, penyu dan ikan napoleon. Waktu yang mepet, membuat kami tak sempat mencermati keindahan sanctuary Kassanangan milik masyarakat.

Pukul 16.35 jangkar diangkat, kemudian kami menuju ke tujuan terakhir, yakni Pulau Jinato yang berpenduduk 736 jiwa. Pelayaran sore terasa cukup menyenangkan, apalagi masih banyak camar laut yang turun menangkap ikan. Kurang dari dua jam perjalanan hampir tak terasa. Hampir setiap keluarga yang tinggal di Pulau Jinato mempunyai perahu sendiri. Haji Sukri, tempat kami menginap bahkan mempunyai 15 kapal pinisi yang berlayar hingga ke Australia. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya status ekonomi masyarakat Jinato dibanding masyarakat pulau lainnya ialah, karena melimpahnya ikan yang ada di sekitar perairan Pulau Jinato. Rombongan kami malam itu dengan mudah memperoleh pancingan ikan katombro sampai tiga baskom besar.

Taka Bonerate memang merupakan surga bukan saja bagi penyelam, tetapi juga bagi para pemancing.

* Sili Suli, anggota Purna Pala Mapala Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), peminat wisata alam bebas/ekoturisme dan pemerhati lingkungan hidup.

No comments:

Shared Item