Google
 

Thursday, April 5, 2007

Pergerakan Ikan

Bisikan Laut Kepada si Penguntit Ikan
Sapto Pradityo, Ahmad Fikri
Tempo (35/XXXIV/13 - 19 Oktober 2006)


LIPI membuat pelacak ikan akustik yang jauh lebih murah, tapi tak kalah akurat dibanding satelit. Laut selalu membisikkan rahasianya kepada Tasman. Salah satu bisikannya adalah tempat para ikan berkumpul. Maka, dengan tangan kosong, Tasman bisa membawa pulang banyak ikan.

Kabar gembira, Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi berhasil menjiplak telinga nelayan di pesisir Tegal itu. Pusat riset di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu membuat peranti penguping berbasis gelombang akustik untuk membuntuti dan memetakan pergerakan ikan.

Penggagasnya adalah Dadan Muliawandana, 38 tahun. Ia yakin teknologi sangat bernilai untuk membantu nelayan. Terutama karena orang dengan kemampuan seperti Tasman kini nyaris punah.

Dulu, Tasman menangkap ikan di sepanjang perairan pantai utara Jawa, Selat Makassar, hingga Laut Cina Selatan, cuma berbekal insting. Hasilnya kerap melecehkan peralatan canggih seperti penentu posisi geografis berbasis satelit (GPS), fish finder alias penemu ikan berteknologi sonar, dan aneka peralatan lainnya. Faktanya, dia dua kali berturut-turut menyabet gelar nelayan paling produktif di pelabuhan ikan Tegal, yakni pada 1989-1990.

Tak cuma itu nilai penting teknologi ini. Di laut, siapa tak tahu bahwa nelayan Indonesia mesti berebut ikan dengan nelayan Malaysia, Thailand, hingga Taiwan. Padahal, para nelayan dari negeri jiran itu dibekali kapal berkapasitas besar dan teknologi lebih maju.

Belum lagi kondisi beberapa perairan yang ikannya sudah kelewat tereksploitasi, sehingga area perburuan ikan mesti diperluas. Walhasil, seperti diakui Tasman, nelayan perlu teknologi untuk mengetahui bagaimana pola rombongan ikan itu bermigrasi, agar pulang membawa hasil melimpah. "Sekarang tidak ada nelayan yang mau melaut kalau (penentu posisi) GPS-nya nggak jalan. Sekalipun sudah berlayar satu atau dua jam, kalau GPS-nya rusak mereka pasti kembali ke pelabuhan," ujar nelayan yang kini sudah menjadi juragan kapal itu. Padahal, GPS tidak murah.

Teknologi penguping LIPI jauh lebih murah dibanding teknologi berbasis GPS dan teknologi pelacak ikan lainnya. Salah satu alasannya, "karena tidak perlu memesan slot kanal frekuensi satelit," ujar Dadan, yang menjadi ketua tim teknologi alat ini. Pemetaan migrasi ikan dengan gelombang akustik pun memungkinkan diperoleh data lokasi setiap saat.

Ketika dijajal di Waduk Saguling, Pantai Pangandaran, dan perairan Pantai Cirebon, penguping akustik LIPI menunjukkan hasil memuaskan. Akurasinya tidak kalah dengan teknologi satelit, dengan tingkat kesalahan pembacaan alat paling besar hanya 10 meter.

Toh, Dadan masih belum puas. Dia berharap tingkat kesalahan ini dapat ditekan hingga kurang dari 1 meter. "Tapi itu sulit sekali dan sepertinya tidak mungkin," ujarnya.

Inti dari "telinga" LIPI adalah sebuah chip pemancar gelombang akustik yang ditanam di ikan yang hendak dipetakan. Chip itu berukuran satu ruas jari bayi, seberat 0,2 gram. Gelombang suara yang dipancarkan chip akan ditangkap oleh tiga hidrofon yang dipasang di pelampung. Hasilnya bakal muncul dalam bentuk lokasi ikan tiga dimensi.

Data mentah ini dipancarkan ke pusat pengolahan data, dan didapatlah peta lokasi ikan itu. Dari data-data yang terkumpul, dapat diketahui bagaimana pola pergerakan ikan jenis tersebut.

Sayangnya, alat ini tak dapat dipakai untuk semua jenis ikan komersial. Rentang jangkauan gelombang akustik tidak jauh. Chip pemancar gelombang akustik paling jauh bisa melontarkan suara hingga jarak 1 kilometer, sedangkan daya tangkap hidrofon berkisar 2 kilometer. Jelas, teknologi ini tidak mungkin digunakan untuk memetakan pola pergerakan ikan komersial dengan kemampuan jelajah tinggi, seperti tuna.

Apa boleh buat. Untuk membuntuti ikan lintas perairan seperti tuna dan hiu, solusinya adalah teknologi satelit. Inilah teknologi yang dapat dipakai memetakan migrasi ikan hampir tanpa batas, namun mahalnya tak kepalang.

Tim peneliti Universitas Stanford, Amerika Serikat, telah menggunakan teknologi satelit itu untuk memetakan pola migrasi hiu. Mereka memasang dua jenis chip pada hiu. Pertama, chip Smart Position-Only Tag (SPOT) yang ditanam pada punggung, untuk menentukan posisi hiu sepanjang waktu. Saat hiu muncul di permukaan air, chip akan mengirimkan gelombang mikro ke satelit.

Peneliti tinggal mengunduh data yang ditangkap satelit dan memantaunya dari hari ke hari. "Saya biasanya mengecek posisi hiu di pagi hari sambil minum kopi di teras rumah," ujar Barbara Block, kepala tim penelitinya.

Chip kedua, Pop-Up Satellite Archival Tag (PAT), berfungsi mengumpulkan data tekanan dan temperatur air yang dilintasi hiu. Chip kedua ini biasanya diprogram pada jangka waktu tertentu akan melepaskan diri dari badan hiu. Dari data yang dikumpulkan kedua chip ini, dapat diketahui bagaimana hiu bermigrasi.

Lewat satelit, tim Universitas Stanford berhasil membuntuti hiu selama 640 hari dan menempuh lintasan sepanjang sekitar 18.215 kilometer-hampir setengah keliling bumi. Salah satu kesimpulan yang diperoleh adalah saat bergerak ke selatan bagian bumi pada musim panas, ikan hiu menyelam di laut dalam untuk menghindari panas di permukaan air.

Agaknya, pada akhirnya teknologi LIPI dan teknologi satelit perlu bahu-membahu dalam menyediakan peta ikan karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tujuannya cuma satu: agar nelayan dapat memantau di mana, misalnya, ikan kerapu berkumpul saat musim panas. "Jadi, tidak lagi hanya bermodal naluri saat meninggalkan pelabuhan menuju laut lepas," kata Dadan.

Agar seluruh nelayan dapat memanfaatkan data pola migrasi ikan, Dadan berpikir data tersebut perlu dimasukkan ke Internet. Dengan peta pergerakan ikan di komputer dan penguping setia mengintai keadaan di bawah laut, sepertinya nelayan tinggal menunggu ikan-ikan itu lewat.

No comments:

Shared Item